Tuesday, 15 May 2012

Review Serie A Musim 2011/12: Kisah Morosini Hingga Kesempurnaan La Vecchia Signora

Andai Juventus tak juara, mungkin AC Milan belum akan berevolusi sevulgar saat ini.
 
Panggung drama Serie A musim ini telah usai. Seperti kita tahu, Juventus berhasil menambah satu tanda bintang di jersey baru mereka. Niatan yang sempat menimbulkan polemik menilik gelar ‘resmi’ La Veccia Signora baru mencapai angka 28. Namun, lupakan masalah jumlah. Kita tengok apa saja yang telah terjadi di sepanjang musim yang sempat beberapa kali terhenti akibat cuaca buruk.
Diawali aksi mogok Asosiasi Pemain Italia (AIC) yang kecewa dengan sikap Lega Calcio, musim dimana Serie A hanya akan meloloskan 3 tim teratas ke Liga Champion musim depan, persaingan di papan atas seperti diprediksi berlangsung luar biasa seru. AC Milan yang nyaris tak merubah skuad juara boleh menyesal dengan keberadaan Milan Lab. Laboratorium olahraga canggih yang sempat diklaim paling modern di Eropa tak mampu memberi solusi badai cedera punggawa I Rossoneri. Hampir sepanjang musim, Massimiliano Allegri tak bisa meramu skuad terbaik. Untungnya, Zlatan Ibrahimovic masih tak bosan mencetak gol. Ibra, menjalani musim terbaik dengan gelontoran 28 gol, tiga gol lebih baik dari rekor semasa di Inter Milan. Apes bagi Ibrakadabra, meski sukses memecahkan catatan gol semusim Andry Shevchenko dan mengantarkan Milan menjadi tim paling produktif, scudetto harus terbang ke kota Turin.
Yup, Turin. Kota di bagian utara Italia, telah berdiri megah stadion anyar. Belum ada nama resmi, Juventus Stadium menjadi sejarah sepakbola Italia. Juve boleh jumawa. I Bianconeri menjadi klub Serie A (Italia) pertama yang memiliki stadion sendiri. Bersama pelatih anyar, Antonio Conte, para punggawa La Signora Omicidi tak perlu ngontrak ke Olimpico Stadium seperti musim lalu. Rekrutan mencengangkan datang kala Andrea Pirlo merasa dipinggirkan Allegri, menerima tawaran Juve. L’architetto secara luar biasa menginspirasi permainan Si Putih Hitam bersama Claudio Marchisio dan Arturo Vidal. Trio MVP nyaris tak pernah digeser Conte, meski sang allenatore berkali-kali mengubah strategi dari 4-2-4, 4-4-2, 4-2-3-1 hingga 3-5-2.
Keseimbangan permainan yang diciptakan Pirlo di lini tengah Si Nyonya Tua membuat gawang Gigi Buffon jarang mendapatkan serangan. Total 20 gol menjadi rekor terbaik peraih scudetto di era 20 tim. Secara ball possession, Juve terus memenangi di seluruh 38 partai Serie A. Menariknya, sosok Alessandro Matri, top scorer klub hanya mencetak 10 gol. Tentu pameo, tim juara adalah tim yang paling sedikit menderita gol bakal berlaku di sini. Total gol Juve masih kalah dari AC Milan, tapi 19 pemain Juve mampu masuk scoresheet. Kolektivitas akan berbicara di sini.
Sempat nge-drop dari beberapa kali hasil imbang, Juve patut bersyukur musim lalu hanya menempati peringkat tujuh. Hanya berfokus di dua ajang (Serie A dan Coppa), Juve tak pernah kehilangan tenaga di tiap laga. Jika sang juara bertahan, Milan, sempat megap-megap kehabisan nafas, Juve secara luar biasa mampu melewati hadangan le magnifiche sette. Sebuah syarat untuk memenangi persaingan bukan?
Persaingan scudetto sebenarnya mengerucut hanya antara Milan dan Juve saja. Runner up musim lalu, Inter Milan, melakukan blunder besar saat melepas Samuel Eto’o dan mendatangkan Diego Forlan. Dikombinasikan dengan ide gila Gian Piero Gasperini, kedatangan Claudio Ranieri hingga tugas dadakan Andrea Stramaccioni, posisi akhir Il Biscione di peringkat enam sebenarnya sudah lumayan bagus, mengingat di awal musim sempat merasakan zona merah. Namun, musim depan, La Beneamata yang bakal absen dari panggung Liga Champion untuk kali pertama sejak 2001-2002 bisa memiliki masalah besar. Pemain bintang tentu tak mau datang.
Bicara pemain bintang, di musim ini, sosok Edinson Cavani dan Marek Hamsik tentu menjadi dua pesohor yang terus menjadi magnet kuat acap kali jendela transfer dibuka. Dua nyawa Napoli mampu menyingkirkan Manchester City di fase grup Liga Champion, sebelum harus menyerah di tangan Chelsea. Walter Mazzarri mungkin bisa mengerti mengapa Allegri selalu mengeluh dengan banyaknya pemain Milan yang berlabel cedera. Terbagi fokus ke UCL, Napoli megap-megap di Serie A. Untung saja, di ajang Coppa, Partenopei mendapat undian lumayan enteng. Azzurri pun melenggang ke partai puncak, berhadapan dengan Juve, 21 Mei mendatang di Olimpico. Satu tiket Liga Europa musim depan sudah berada di tangan. Tapi, tak bermain di Liga Champion, siapa menjamin bintang-bintang Naples bakal bertahan di San Paolo?
Justru, klub seperti Udinese bisa jadi malah mendatangkan atmosfer menarik bagi para pemain bintang. Bukan klub kaya, Friulani terkenal suka melego pemain bintang saat berharga mahal. Ditinggal Alexis Sanchez ke Barcelona, Antonio di Natale malah sukses mekencetak gol ke-80 di musim ketiganya sekaligus mengantarkan Zebrette ke posisi tiga klasemen akhir Serie A. Jika melihat persaingan dengan Lazio, Napoli serta Inter, Francesco Guidolin pantas diganjar untuk trofi Oscar del Calcio untuk tahun ini.
Udinese masih menyimpan cerita lain. Pier Mario Morosini, salah satu pemainnya yang dipinjamkan ke Livorno (Serie B) mengalami serangan jantung hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir saat pertandingan kontra klub asal kelahirannya, Pescara. Cerita hidup Morosini sangat mengenaskan. Gelandang anggota Azzurrini harus kehilangan, ibunda, saat berusia 15 tahun. Dua tahun kemudian, ayahanda menyusul ke alam baka. Morosini harus menghidupi kakak perempuannya, yang menderita cacat. Serie A, Serie B dan seluruh masyarakat bola Italia hingga dunia berkabung dan merasa kehilangan dari sosok tangguh penuh tanggung jawab seperti Morosini.
Musim ini, Serie A juga bakal kehilangan beberapa legenda. Sang pemenang scudetto, Juve, bakal ditinggal il capitano Alessandro del Piero setelah pengabdian selama lebih dari 19 tahun. Sebuah gol di giornata pamungkas kontra Atalanta membuat pesta perpisahan Ale terasa sempurna. Mengantarkan Juventus ke kasta tertinggi bumi Italia setelah terpuruk lebih dari setengah dasawarsa pasca calciopoli, sang legenda hidup nyaris telah memberi semua gelar. Scudetti ke-30 dengan catatan invincible menjadi catatan terbaik sepanjang sejarah Serie A. Jauh lebih baik dari rekor Perugia dan AC Milan saat Serie A masih diikuti 18 peserta serta aturan backpass memperbolehkan untuk kembali ditangkap para portiere.
Juventus telah berevolusi saat kehadiran Beppe Marotta. Peremajaan skuad menjadi target utama. Hasilnya, musim ini Juve berjaya. Mungkin, keberhasilan Juve melecut Milan untuk segera melakukan hal serupa. Mulai dari kompatriot Del Piero semasa berbaju hitam-putih, Pippo Inzaghi resmi undur dari dari San Siro. Super Pippo menyusul Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, Mark Van Bommel hingga Clarence Seedorf yang memutuskan menyudahi pengabdian bersama Milan demi regenerasi klub.
Pertanyaan bagi kita, bagaimana nasib Serie A musim depan?
Jika melihat kondisi keuangan klub Serie A yang jauh dari kata glamour, berharap terjadi mega transfer masuk ke Italia mungkin bisa menjadi barang langka di sepanjang musim panas nanti. Imbasnya, hasil di Liga Champion atau Liga Europa musim depan, tentu tak akan jauh berbeda dengan musim ini, kecuali datang aliran uang masuk. Jika Thomas DiBenedetto saja masih pelit membangun AS Roma, panggung Serie A hanya seru dilihat dari dalam saja. Saat bertemu tim-tim semacam Real Madrid dan Barcelona, orang akan segera bilang, dunia mereka berbeda.

Review Premier League Musim 2011/12: Ketat Hingga Pertandingan Terakhir

Premier League menjalani musim yang luar biasa, menyajikan drama hingga musim benar-benar berakhir.
Setelah nyaris sepanjang musim berada di puncak klasemen, Manchester City mulai kehilangan konsistensi lepas tengah musim. Mereka beberapa kali mengalami hasil imbang dan bahkan kalah secara mengejutkan, sehingga membuat Manchester United yang setia menempel ketat mereka mengambil alih posisi puncak.
Siapa yang akan menyangka bahwa musim ini akan didominasi oleh dua tim asal kota Manchester? Sedangkan jagoan-jagoan dari London seperti Chelsea, Arsenal, dan Tottenham seolah tak mampu menyaingi duo asal kota pelabuhan tersebut.

Chelsea memulai musim dengan sangat baik, tangan dingin pelatih anyar Andre Villas-Boas yang di musim sebelumnya memenangkan Treble bersama Porto pun cukup menjanjikan di awal-awal. Sampai akhirnya mereka merosot tajam dan bahkan keluar dari empat besar, membuat pelatih asal Portugal itu harus dipecat. Sang asisten pelatih, Roberto Di Matteo mengambil alih, dan di sini grafik Chelsea mulai naik kembali.
Di Matteo membawa Chelsea menembus dua partai final bergengsi, final Piala FA dan final Liga Champion. Yang pertama sudah mereka menangkan, mereka berhasil menekuk Liverpool 2-1 di Wembley. Berikutnya mereka akan menjalani final di Munich, berharap untuk bisa memenangkan satu-satunya piala yang belum pernah mereka menangi. Meski hanya mampu finish di peringkat enam musim ini, Chelsea berpeluang berlaga di Liga Champion musim depan, jika mereka mampu membungkam Bayern Munich di partai puncak pekan ini.

Tottenham adalah salah satu tim yang mengalami inkonsistensi musim ini, setelah sempat berpeluang menyaingi duo Manchester dalam perburuan gelar di pertengahan musim, mereka malah kehilangan banyak poin jelang musim berakhir. Membuat Arsenal yang sempat tertinggal jauh mampu mengejar perolehan angka mereka dan mengakuisisi peringkat tiga, sampai pertandingan terakhir. Kabarnya isu Harry Redknapp yang akan dipanggil menjadi pelatih timnas Inggris cukup mengganggu konsentrasi tim tersebut.
Tottenham hanya mampu finish di peringkat empat, dan berharap Chelsea gagal menang di final Liga Champion agar jatah posisi empat untuk ikut ke kompetisi elit Eropa musim depan tak hilang dari genggaman mereka. Jika Chelsea juara, Tottenham harus puas bermain di Europa League musim depan.

Meski gagal meraih gelar (lagi) musim ini, Arsenal puas bisa finish di peringkat tiga. Ini membuat mereka bisa tampil sebanyak 15 kali secara berturut-turut di Liga Champion musim depan, prestasi yang cukup membanggakan. Apalagi kaptennya, Robin van Persie, keluar sebagai pencetak gol terbanyak dengan torehan 30 gol di Premier League. Van Persie kini menjadi pencetak gol terbanyak ke-8 Arsenal, dengan total 132 gol.
Satu lagi tim yang menjalani musim dengan luar biasa, Newcastle United. Setelah sempat tak terkalahkan di awal-awal musim, Newcastle sempat mencicipi posisi empat besar selama beberapa pekan. Namun kekalahan demi kekalahan membuat mereka harus keluar dari posisi tersebut, sampai pertengahan musim. Kedatangan Papiss Demba Cisse di Januari membawa sesuatu yang positif. Ia berhasil mencetak gol nyaris di setiap pertandingan dan membawa Newcastle punya harapan untuk berlaga di Eropa. Namun sayang di pertandingan penutup mereka harus takluk 3-1 dari Everton dan membuat mereka harus puas finish di peringkat lima.

Alan Pardew terpilih sebagai pelatih terbaik versi Barclays, karena membawa Newcastle yang awalnya hanya menargetkan bertahan di Premier League kini punya harapan untuk bermain di Eropa. Bahkan mereka sudah sangat dekat dengan Liga Champion, jika saja Arsenal dan Spurs terpeleset di pertandingan terakhir dan mereka mampu meraih poin penuh.
Kembali ke pertarungan di puncak klasemen, City mengambil alih posisi puncak dari tangan United setelah tetangganya itu kehilangan poin saat bertandang ke Wigan dan menjamu Everton di Old Trafford. Membuat derby Manchester beberapa pekan silam menjadi pertandingan penentuan, siapa yang lebih baik.

City kembali ke puncak setelah Vincent Kompany berhasil membawa timnya unggul tipis 1-0 di pertandingan yang dihelat di Etihad Stadium. Tiga poin menyamakan perolehan angka dengan United, namun mereka unggul jauh dalam selisih gol.
Fans Arsenal tak akan bisa melupakan kekalahan menyakitkan 8-2 di Old Trafford, begitupun fans United yang tak akan pernah bisa lepas dari bayang-bayang suram 6-1 di tempat yang sama. Dua hasil pertandingan musim ini yang mungkin bisa membuat kita yang menyaksikannya mengerenyitkan dahi, seolah tak percaya dengan apa yang tertera di papan skor.
Musim ini adalah salah satu musim terbaik dalam sejarah Premier League, mengapa demikian? Karena gelar juara ditentukan hanya dalam hitungan menit di pertandingan penutup. Ya, siapa yang akan menyangka City mampu berbalik unggul 3-2 setelah sempat tertinggal 2-1 sampai menit ke-90? Gol Edin Dzeko dan Sergio Aguero di menit injury time memastikan perayaan gelar tetap dirayakan di Etihad Stadium. Padahal sebelumnya ketika wasit meniup peluit panjang di Stadium of Light, United adalah juaranya.

Inilah alasan mengapa Premier League dinyatakan sebagai liga terbaik di dunia, karena kita tidak pernah bisa menduga dan memprediksi setiap pertandingannya. Yap, kita harus menahan nafas hingga menit-menit akhir, melihat drama yang terjadi di pertandingan penutup Premier League musim ini. Luar biasa bukan?


Source

Tuesday, 8 May 2012

Adu Agresif Antara Atletico Madrid vs Atletic Bilbao

Athletic Bilbao akan bertemu dengan Atletico Madrid pada Rabu malam nanti (Kamis dini hari waktu Indonesia) dalam laga final Liga Europa 2012 di Bucharest, Rumania. All-Spanish Final yang mempertemukan dua klub yang sudah sangat memahami satu sama lain karena sama-sama bermain di La Liga ini tetap menjanjikan pertandingan yang menarik meski keduanya telah sering bertemu.
Athletic Bilbao musim ini bermain luar biasa di bawah asuhan Marcelo Bielsa. Permainan ofensif nan agresif dengan mengandalkan umpan-umpan pendek menjadi ciri khas baru klub asal Basque tersebut musim ini. Berkat racikan tangan dingin 'El Loco' Bielsa itulah Bilbao pun disebut sebagai tim dengan permainan paling indah di musim ini, hingga klub seperti Manchester United sekalipun dua kali keok di hadapan mereka. Permainan atraktif mereka yang selalu muncul, tak peduli siapa lawannya dan dalam pertandingan sepenting apapun itu, menjamin pertandingan yang berlangsung pada pertengahan pekan ini akan menarik.

Atletico Madrid, yang dilatih oleh mantan pemain asuhan Bielsa, Diego Simeone, pun tak mau kalah. Di tangan Simeone, yang muncul sebagai penyelamat bagi Atletico di pertengahan pekan ini, Atletico tampil luar biasa selama tahun 2012 ini, merangsek naik di klasemen sementara La Liga hingga kini masih berpeluang lolos ke Liga Champions musim depan. Padahal, sebelum kedatangan eks gelandang timnas Argentina tersebut, Atletico harus tersaruk-saruk di papan tengah, bahkan sempat terjembab di papan bawah. Berkat tangan dingin Simeone pula Atletico mampu lolos hingga babak final ini.
Los Rojiblancos di bawah asuhan Simeone mungkin tak terlalu istimewa. Mereka tak bermain terlalu agresif, menghalalkan umpan jauh, dan tak terlalu menggemari tempo cepat, namun sejauh ini permainan mereka selalu efektif. Dan meski tak seagresif Athletic Bilbao, Radamel Falcao dkk. sendiri termasuk dalam barusan tim paling subur di Liga Europa musim ini.

Siapa yang lebih unggul? Atletico Madrid jelas unggul dari segi pengalaman daripada lawannya tersebut. Maklum, baru pada tahun 2010 lalu mereka menjadi juara, plus faktor Falcao yang baru musim lalu menjadi juara di ajang ini bersama Porto, sekaligus menjadi top skorer kompetisi dan memecahkan rekor gol terbanyak dalam semusim di kompetisi Eropa. Sementara pengalaman Athletic Bilbao di ajang ini tidaklah banyak. Mereka baru satu kali melaju ke partai final Liga Europa (saat itu masih bernama Piala UEFA) pada musim 1976/77. Itu bahkan menjadi penampilan satu-satunya Bilbao di final kompetisi Eropa.
Atletico Madrid memang terlihat lebih unggul. Tapi.... Hey, Athletic Bilbao adalah tim yang bisa dua kali mempercundangi Manchester United!





Source

Sunday, 6 May 2012

The Rise Of The Blue Moon!

Kebangkitan Manchester City di EPL Musim Ini.

Manchester pun membiru. Dan dunia pun mendapatkan idola baru: Manchester City.

Seorang Diego Maradona kini mendukung Manchester City. Walaupun alasan utamanya adalah sang menantu yang kini menjadi andalan di lini depan klub EPL, rasanya nyaris tidak mungkin melihatnya berjingkrakan seperti kemarin jika Sergio Aguero masih membela Atletico Madrid.
Dan nyaris sepanjang jalan pulang dan pergi kemarin, semakin banyak orang yang menggunakan jersey ataupun jaket City. Sesuatu yang sulit kita lihat dalam waktu sekitar dua tahun yang lalu. Face it, Manchester City adalah sebuah fenomena global terbaru di dunia sepakbola.

Sejak awal musim, City memang sudah disebut-sebut sebagai calon kuat juara musim ini. Menyaingi sang juara bertahan dan rival sekota mereka, Manchester United. Dengan deretan pemain-pemain super semacam Aguero, Yaya Toure, Samir Nasri, David Silva, Carlos Tevez, Mario Balotelli dan masih banyak lagi lainnya, City jelas secara instan menjadi klub besar di EPL.

Pengaruh Roberto Mancini sebagai seorang manajer juga sangat besar. Ia mampu menampung ego begitu banyak bintang dan menjadikan City sebagai suatu kesatuan yang solid. Meski tidak mulus -perang menghadapi Tevez dan perselisihan rutin dengan Balotelli menjadi beberapa contoh- ia mampu menjaga pesawat besarnya tetap bergerak ke arah yang benar.
Pesawat yang sempat mengalami turbulence kencang saat mendekati akhir musim. Posisi mereka di puncak klasemen yang sempat bertahan lama, berhasil dikudeta oleh United. Kesalahan demi kesalahan membuat mereka kehilangan poin. Performa Manchester Biru saat bermain away pun membuat mereka mulai terlempar dan sudah nyaris dihapus dari persaingan merebut gelar. Selisih delapan poin menjadi salah satu titik terendah bagi City.

Namun di titik terendah itu, mereka mampu menunjukkan bahwa tim ini mampu bangkit. Dan tidak akan menyerah selama masih ada kesempatan. United -secara tidak biasa- mulai terpeleset di pertandingan pertandingan terakhir. Keunggulan semakin menipis, dan City pun dengan ketenangan yang luar biasa berhasil memanfaatkan situasi.
Puncaknya adalah hari Senin malam waktu Inggris kemarin. Etihad Stadium -yang biasanya terkenal sepi- dipenuhi dengan para pendukung City yang siap bernyanyi dengan suara penuh. Mereka kedatangan tamu besar: Manchester United yang unggul tiga poin di puncak klasemen.

Hasilnya seperti kita ketahui bersama, City sukses memenangi pertandingan dengan skor 1-0. Sang kapten, Vincent Kompany, menjadi pahlawan dalam pertandingan yang seharusnya bisa mereka menangi dengan skor yang lebih besar lagi.
Setiap lini City tampil sempurna. Ini menjadi salah satu pembuktian bahwa mereka mampu mengatasi tekanan super besar yang menjadi beban setiap pemain yang bertarung di lapangan. Mereka tampil tenang meredam United dan mampu menguasai pertandingan sepenuhnya. Bahkan Gael Clichy sekalipun -yang biasanya menjadi bahan bully Nani ketika bermain di Arsenal- mampu menjelma menjadi seorang pemain yang sangat bisa diandalkan.

Selain sebuah komedi kecil dari Samir Nasri di akhir pertandingan, City tidak membuat kesalahan apapun di duel penentu kemarin. Mereka tidak mengubah gaya bermain, dan menegaskan pada semua yang menyaksikan bahwa tim ini datang untuk meraih kemenangan. Dan terus melaju untuk meraih gelar juara.

Banyak yang akan mendebatkan posisi City saat ini adalah "hadiah" dari United yang membuang poin berharga mereka. Namun ketenangan City yang memanfaatkan setiap kesempatan sekecil apapun harus tetap diberi pujian. Dengan level tekanan di akhir musim yang bisa membuat kepala siapapun meledak, apa yang dilakukan tim yang tidak terbiasa dengan atmosfir persaingan gelar juara ini sangatlah hebat.
Benar. City belum pasti juara. Masih ada dua pertandingan sulit lagi. Menghadapi Newcastle United yang sedang berusaha meraih posisi empat besar di kandang lawan dan menghadapi QPR yang sedang berjuang melepaskan diri dari zona degradasi di kandang sendiri.

Meski begitu, ini adalah kesempatan terbesar City untuk meraih juara setelah menanti selama puluhan tahun. Sebuah kebodohan besar jika gagal menaklukkan kedua tim yang secara kasat mata berada di bawah mereka tersebut. Dan dengan dana begitu besar yang sudah dihabiskan oleh Sheikh Mansour di awal musim, rasanya mereka layak untuk mendapatkan satu gelar kali ini. Sebuah gelar paling bergengsi, dengan mengalahkan rival terbesar mereka sepanjang masa.

Etihad akan melakukan pesta yang sama seperti kemarin malam saat mereka menaklukkan United pada tanggal 13 Mei nanti. Karena di saat itu, Manchester City akan menjuarai EPL musim ini.

Who's the noisy neighbor now, eh?

Source

Wednesday, 25 April 2012

Bayern Munich Ke Final Lewat Adu Penalti


Franck Ribery; Pepe, Real Madrid, Bayern Munchen
Getty Images
Bayern Munich akhirnya merebut tiket final Liga Champions melalui adu penalti meski dikalahkan Real Madrid 2-1, sehingga agregat menjadi imbang 3-3, Rabu (24/4) malam.

Hanya butuh enam menit bagi tuan rumah untuk membuka keunggulan. Menerima sebuah umpan panjang, Angel Di Maria bermaksud memberikan umpan silang mendatar ke tengah kotak penalti tetapi bola mengenai tangan David Alaba. Penalti dengan tenang dieksekusi oleh Cristiano Ronaldo.

Keberhasilan Ronaldo itu menjadikan rekor tersendiri setelah selalu mampu menjaringkan gol dalam 25 eksekusi penalti terakhir.

Hanya semenit, Bayern memperoleh peluang menyamakan kedudukan. Alaba beraksi di sayap kiri dan memberikan umpan yang disongsong Arjen Robben. Sayangnya eksekusi sayap kidal itu tidak sempurna sehingga bola melayang ke atas mistar gawang Iker Casillas.

Menit 14, Santiago Bernabeu kian bersorak. Kesalahan penguasaan pemain Bayern menyebabkan bola direbut Sami Khedira dan bergulir ke arah Mesut Ozil. Dengan cepat Ozil memberi umpan kepada Ronaldo. Tannpa kawalan, Ronaldo mencetak gol kesepuluhnya di Liga Champions musim ini.

Pertandingan sepertinya selesai terlalu cepat, tetapi Pepe melakukan kesalahan fatal pada menit ke-27. Bek Portugal itu mendorong Mario Gomez yang berupaya menjangkau umpan silang Toni Kroos. Kartu kuning dan penalti! Robben berhasil menjalankan tugas sebagai eksekutor meski bola sempat ditepis Casillas.

Gol tersebut mendorong kepercayaan diri para pemain Bayern. Sebaliknya, barisan pertahanan Madrid kerap panik dalam menghadang serangan lawan. Mendekati akhir babak pertama, Bayern memperoleh peluang menyamakan kedudukan. Tendangan bebas Robben di depan kotak penalti berbelok menghantam Pepe, tapi beruntung Casillas secara refleks berhasil mencegah laju bola.

Bayern berani mengendalikan tempo pertandingan ketika babak kedua dimulai. Peluang langsung didapat ketika Gomez menyambut umpan silang Robben dengan sundulan, tetapi arah bola melebar. Madrid membalas ketika Karim Benzema melepaskan tembakan keras yang dapat dihalau Manuel Neuer.

Pertandingan menarik yang disajikan sebelum jeda tak terulang. Bayern mencoba bermain lebih sabar, sementara upaya Madrid dalam membangun serangan kerap digagalkan lini tengah Bayern yang digalang Luiz Gustavo.

Gomez memperoleh peluang emas memberikan tiket final kepada Bayern saat pertandingan tinggal tersisa lima menit. Lolos dari pertahanan Madrid, Robben memberikan umpan mendatar yang bisa dengan mudah diselesaikan oleh Gomez. Namun, Gomez memilih menahan bola sehingga Pepe dan Sergio Ramos sudah menutup ruang tembak.

Dua menit tambahan waktu tidak memberikan gol kemenangan sehingga pertandingan harus dilanjutkan ke perpanjangan waktu.

Tempo pertandingan tak juga berubah sepanjang 15 menit pertama perpanjangan waktu. Untuk menggiatkan kreativitas tim, Thomas Muller dimasukkan menggantikan Franck Ribery. Namun, harapan Bayern tak terwujud. Malahan Gustavo dan Holger Badstuber memperoleh kartu kuning sehingga harus menjalani sanksi akumulatif.

Kelelahan menjalani perpanjangan waktu membuat kondisi fisik tak bisa dibohongi. Ronaldo yang cemerlang dengan dua gol di babak pertama tak lagi memperoleh kesempatan mengancam gawang Neuer. Sementara, Kroos mulai melakukan kesalahan saat menahan bola.

Madrid memainkan kartu terakhir pergantian pemain dengan memasukkan Gonzalo Higuain serta Esteban Granero. Sama seperti Kaka yang dimasukkan di akhir babak kedua waktu normal, para pemain pengganti Madrid tak banyak berkontribusi. Granero bahkan memperoleh kartu kuning karena berupaya mengelabui wasit Viktor Kassai dengan menjatuhkan diri di kotak penalti.

Skor tak jua berubah, satu tiket final Liga Champions harus ditentukan melalui lotere adu penalti.

Eksekusi pertama Madrid yang diambil Ronaldo malah gagal sehingga rekor 25 tendangan penalti yang berhasil pun terhenti. Kegugupan sepertinya sontak menyergap skuat Madrid sehingga eksekusi berikutnya yang diambil Kaka dapat dipatahkan juga oleh Neuer.

Casillas sempat menghidupkan peluang Madrid dengan menepis eksekusi Kroos dan Lahm. Namun, harapan Los Merengues sirna begitu tendangan Sergio Ramos melayang ke atas mistar. Pada eksekusi penentuan, Bastian Schweinsteiger berhasil menjalankan tugasnya.

Bayern akan tampil di Allianz Arena, kandang sendiri, di final Liga Champions menghadapi Chelsea, 19 Mei mendatang.





Source

Tuesday, 24 April 2012

Kesabaran dan Determinasi Chelsea Berbuah Kemenangan

 Pelatih Chelsea Roberto Di Matteo tersenyum lega setelah peluit panjang berbunyi.

Barcelona 2-2 Chelsea (Agg : 2-3)
(Busquet 35’, Iniesta 43’; Ramires 45’+1, Torres 90’+2)
    Ironis. Hanya dalam empat hari, Barcelona kehilangan dua gelar paling prestisius dalam semusim, La Liga dan Uefa Champion League (UCL) musim 2011-2012. Mimpi buruk pertama terjadi pada Sabtu, 21 April lalu ketika Real Madrid yang sebelum pertandingan memimpin klasemen dengan selisih empat poin dari Barcelona mampu membungkam mereka dengan skor 2-1 di kandang sendiri. Selisih tujuh poin membuat kubu Barcelona mengibarkan bendera putih mengingat La Liga hanya menyisakan empat pertandingan lagi. Meskipun tidak ada yang tidak mungkin dalam sepakbola. Tiga hari setelah itu, di tempat yang sama pula Messi dkk dipastikan tergusur dari arena UCL setelah ditahan imbang Chelsea dengan total agregat 3-2 untuk tim tamu.

    Ada satu hal yang patut diperhatikan dalam kegagalan Blaugrana meraih dua trofi musim ini. Biasanya, kekalahan Barca diiringi dengan diterapkannya permainan efektif oleh sang lawan mengingat kualitas pemain Barca sebagai tim dan individu sulit diimbangi. Tim seperti Madrid yang bertabur bintang saja, tidak cukup kuat meladeni permainan tiki-taka dan possesion football Barcelona sepanjang pertandingan. Akhirnya pelatih Madrid, Jose Mourinho, lebih memilih memperkuat pertahanan mereka dan menunggu Barca kehilangan bola untuk melancarkan serangan balik. Alhasil, CR7 berhasil menceploskan gol penentu kemenangan melalui serangan balik brilian di babak kedua. Kemenangan Madrid bisa jadi menginspirasi Roberto Di Matteo untuk menerapkan strategi serupa, kebetulan dia adalah orang Italia, yang tentunya sangat mengenal cattenaccio. Terbukti, dua gol dari Chelsea lahir dari serangan balik di injury time setiap babak, 45+1, dan 90+2.
Fernando Torres sukses melewati hadangan Victor Valdes.

    Strategi yang dipilih oleh Mou dan Di Matteo sering dikenal dengan sepakbola negatif, yakni lebih memperkuat pertahanan agar terhindar dari kebobolan. Apakah hal ini patut disalahkan? Menurut saya tidak. Permainan cantik yang diperagakan Barcelona sangatlah menghibur, siapa yang tak kagum dengan skill Messi, Xavi, maupun Iniesta yang sepertinya tak pernah lelah berlari mengalirkan bola. Pola penyerangan ke area penalti lawan yang mereka mainkan seakan gelombang tsunami yang entah bagaimana selalu berakhir dengan peluang-peluang emas dan getarnya gawang lawan. Namun itu semua menurut saya tetap hanyalah sebuah strategi bukan kunci kemenangan. Tim lawan yang memang tidak mampu meladeni permainan serupa tentu tak mempunyai pilihan banyak. Secara alamiah pun, pemain-pemain mereka akan mundur ke area pertahanan sambil melakukan tackling-tackling yang mungkin dapat merusak permainan dominasi tim terbaik. AC Milan, Inter Milan, Madrid, dan Chelsea sudah mempraktikannya saat melawan Barcelona dalam beberapa tahun terakhir, dan terbukti Barcelona tidak mampu mengembangkan pertandingan di sekitar kotak penalti mereka. Dari keempat tim itu hanya AC Milan yang belum berhasil menahan laju Barcelona di babak hidup mati. Kekurangan tim berkostum merah hitam ini menurut saya adalah terlalu keras, kurang disiplin, pola serangan monoton dan tidak maksimal melakukan serangan balik. 
Namun, tak dipungkiri mereka sanggup menahan gawang dari kebobolan saat berlaga di Italia. Maka, kesabaran, determinasi, kedisiplinan, dan kesuburan –disamping tentunya keberuntungan- para pemain Chelsea patut diapresiasi positif.

    Catatan statistik di situs guardian.co.uk membuktikan efektifitas permainan The Blues, selama 90 menit laga berjalan, Chelsea hanya menguasai bola sebanyak 18% saja, itupun dibarengi dengan enam kartu kuning (Mikel, Ramires, Ivanovic, Cech, Lampard, Meireles) dan satu kartu merah (John Terry). Mereka pun hanya membukukan 7 usaha membobol gawang (goal attempts), dan tiga tembakan mengarah gawang (shot on goal). Bandingkan dengan penguasaan 82% dengan 23 kali usaha membobol gawang dan satu kali penalti yang dilakukan Barcelona. Luar biasa.

    Selain, faktor catenaccio, keberuntungan juga tak berpihak pada kubu tuan rumah. Pemain terbaik dunia harus bertekuk lutut pada tiang dan mistar gawang hingga tendangan penaltinya pun tak berbuah gol. Ditengarai ini bukan hanya soal dewi fortuna, tetapi juga karena Messi tidak fit mental dan fisiknya. Secara fisik, dikabarkan dari berbagai media, Messi sempat didera kelelahan dan tidak mengikuti sesi latihan terakhir. Secara mental, Messi mengemban beban yang besar untuk menembus pertahanan Chelsea. Kelihaiannya mengolah bola untuk menembus pertahanan dan menceploskan bola tidak diragukan oleh seluruh insan sepakbola dan penikmat sepakbola indah. Tak ayal, kolega-koleganya pun tentu berharap lebih padanya.
Para Pemain Chelsea bersuka cita setelah lolos ke Final.

    Dibalik kegagalan Barcelona itu, saya menemukan beberapa hikmah. Pertama, sering orang berkata bahwa yang bermain cantik pantas menang, maka Chelsea dan tim-tim yang menjegal Barca dihujat dan dicemooh habis-habisan, sampai-sampai menganggap Chelsea memarkir pesawat di mulut gawang. Namun, mereka lupa, bukankah Tuhan juga punya andil menentukan kemenangan? Tuhanlah yang berkuasa menentukan pantas tidak sebuah tim menang, bukan kita.

    Kedua, tujuan akhir adalah segalanya. Andaikata sepakbola negatif adalah haram atau dikenai sanksi, tentulah tidak akan ada tim yang menggunakannya untuk meraih hasil maksimal. Faktanya, sepakbola negatif bukanlah aib, dan hanya bagian dari strategi. Semua boleh menerapkannya. Kemenangan, trofi, dan bonuslah yang menjadi tujuan akhir sepakbola di era modern. Anda pun tahu, kunci kemenangan dalam olahraga ini bukan hanya tentang mencetak gol, tetapi juga memastikan gawang sendiri tidak kebobolan. 
Chelsea pun tidak mungkin lolos apabila dia sendiri juga tak bisa mencetak gol ke gawang Barcelona.

    Ketiga, kemenangan demi kemenangan terkadang begitu melenakan. Segudang prestasi yang dimiliki oleh Pep dan para anak asuhnya membuat mereka melupakan pahitnya kegagalan. Maka, sering ketika keadaan terjepit di partai penting, beberapa pemain Barca –seperti Busquet, Alves, dll- melakukan aksi diving atau sandiwara yang membuat wasit menjadi pihak tergalau saat itu. Akhirnya sang pengadil pun mengeluarkan keputusan-keputusan kontroversial yang sering diperdebatkan. Bagi saya, aksi mereka memang sudah wajar dalam sepakbola, tetapi justru menjadikan kemenangan The Catalans dianggap batal oleh lawan-lawannya. 
Maka, wajar saja bila fans dari tim-tim yang hancur karena kontroversi itu bersatu mendukung siapa saja yang melawan Barcelona dan berkata “Siapa saja boleh juara, asal jangan Barca!”. Beruntungnya, wasit asal Turki, Cuneyt Cakir, mampu memimpin pertandingan dini hari tadi dengan baik.

    Dan pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa proses itu tidaklah penting pada babak knock-out sperti ini, yang terpenting hasil akhir.

Possession Football VS Direct Football


    Seandainya anda menjadi pelatih sepakbola, mana yang anda pilih? Menang tanpa menguasai permainan atau kalah tetapi menguasai permainan? Adakah anda memilih menang di lapangan atau menang di papan skor?
Kedua pertanyaan di atas adalah sebuah pergumulan berat seorang pelatih sepakbola profesional. Menang tanpa menguasai permainan atau tampil indah bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Mengapa? Karena sang pelatih akan mendapat kecaman dari suporter bahkan pemilik klub. Allegri, pelatih AC Milan dan juga Mourinho pelatih Madrid mengalami hal tersebut.
    
    Lalu apakah main indah dan menguasai permainan (bola) merupakan pilihan yang terbaik? Jika kita melihat faktanya, ternyata tidak. Sebagus apapun Barcelona bermain dan berhasil menguasai permainan tapi tanpa gelar dan kemenangan maka semua itu hanya hiburan. Pertandingan sepakbola bukan lagi hiburan, layaknya sirkus, tetapi sudah menjadi sebuah industri.

    Malam ini (waktu Barcelona) kita akan kembali disajikan dua cara bermain yang berbeda. Barcelona yang mengandalkan “possesion football” melawan Chelsea yang mengandalkan “direct football”. Sederhananya permainan menguasai bola dan permainan tanpa menguasai bola. Barcelona akan mengoper bola dari kaki ke kaki sampai ke depan gawang, sedangkan Chelsea bermain dengan bola langsung dan serangan balik.

    Pada leg 1, Chelsea membuktikan ketangguhan strateginya. Mikel, Lampard, dan Meireles berhasil meredam lini tengah Barcelona dan mengurangi suplai bola ke depan. Sedangkan dua jangkar kembar, Cahil dan Terry berhasil menjadi tembok penghalang. Meski tetap saja pertahanan tersebut bisa ditembus, namun Barcelona pada akhirnya harus berhadapan dengan Cech, salah satu kiper terbaik di dunia.

    Leg 2 malam nanti juga akan menampilkan permainan yang sama. Xavi pun sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi.
“Saya membayangkan Chelsea akan menumpuk pemain di lapangan (pertahanan) sendiri jadi kami akan berusaha mencari ruang untuk ‘membuka kalengnya’,” ucap Xavi beranalogi.

    Sementara itu, Pique berpendapat bahwa Barca bisa menang andai bermain seperti biasanya, memenangi ball possession dalam jumlah yang tinggi.
“Kami harus menjadi diri kami sendiri. Kami harus mengontrol penguasaan bola selama 90 menit dan pada akhirnya kami akan mendapatkan kesempatan,” ujarnya di situs resmi UEFA.
Partai ini akan menghadirkan permainan menarik, penuh ketegangan, namun membosankan. Karena anda tidak akan melihat banyak gol tercipta pada partai tersebut. Semoga menariknya partai ini tidak dinodai dengan kepemimpinan wasit yang berat sebelah.
Selamat menyaksikan.